“Jika anak bersalah, Didiklah dengan Disiplin Positif“
Tidak semua hukuman yang bersifat kekerasan dan intimidasi mampu merubah karakter anak dari yang tidak baik menjadi baik. Justru mindset kitalah sebagai orang tua ataupun guru yang harus dirubah. Paradigma berpikir kita haruslah ada dalam perspektif perlindungan terhadap anak, agar jangan sampai kita akan kehilangan generasi yang cerdas dan berkarakter, yang kelak akan menjadi pemimpin daerah, bangsa bahkan pemimpin dunia. Jika anak kedapatan melakukan kesalahan, janganlah menghukum anak tersebut dengan ujaran kekerasan, apalagi sampai dengan menerapkan sangsi hukuman fisik yang justru merusak mental anak yang pada akhirnya berdampak negatif pada kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembangnya. Ia akan terganggu secara fisik, dan anak tersebut “sakit” karena terjadi gangguan kesehatan mentalnya.
Hasil penelitian seorang ilmuan, Lise Elliot, mengatakan bahwa Di dalam setiap kepala seorang anak, tedapat lebih dari 10 triliyun sel otak yang siap tumbuh. Satu bentakan atau makian mampu membunuh lebih dari 1 milyar sel otak saat itu juga. Satu cubitan atau pukulan mampu membunuh lebih dari 10 milyar sel otak saat itu juga. Sebaliknyasatu pujian atau pelukan akan membangun kecerdasan lebih dari 10 triliyun sel otak saat itu juga.
Nah inilah yang harus kita jaga dengan baik. Bukankah anak merupakan harta yang paling berharga, yang dirawat dengan penuh kasih sayang, perlu mendapat asupan pengetahuan dan edukasi hal-hal positif dari para guru maupun orang tuanya. Diperlukan lingkungan yang sehat, aman dan nyaman untuk pertumbuhan fisik dan psikis dari seorang anak, juga diperlukan figur role model dari orang tua ataupun para gurunya bagi pertumbuhan kecerdasan intelektual, spritual, sosial, bahkan resiliensi ditingkatkan agar anak juga bisa memiliki Adversity Quotient.
Sudahlah, jangan lagi kita sebagai orang tua ataupun sebagai guru membentak anak, meremehkan anak yang justru memiliki marwahnya sebagai manusia yang harus dihormati. Jika ia salah, ia keliru cobalah didiklah anak-anak kita dengan menerapkan bentuk disiplin positif, tidak dengan amarah dan cacian,.Hal itu sama dengan kita telah melakukan pembunuhan karakter anak kita sendiri. Dan ia akan menjadi generasi pemarah ataupun bisa saja dia tidk memiliki kepercayaan diri yang tinggi di kemudian hari. Usahakanlah dan sebisa mungkin kita mengganti kata hukuman dengan konsekuensi logis. Misalnya kita didik anak kita, Nak, berusahalah agar ke sekolah tidak boleh terlambat, jika kamu terlambat maka konsekuensi logisnya adalah kamu diberi tugas untuk membca sebuah buku lalu membuat resume dari apa yang kamu baca. Kira – kira begitu, sehingga konsekuensi dari anak melakukan hal tersebut, ia pasti berlatih untuk mendapat pengetahuan saat ia melakukan disiplin positif.
Lebih celaka lagi, jika kedapatan anak melakukan kesalahan ataupun sebagai pelakun kekerasan di sekolah, anak tersebut langsung dikeluarkan dari sekolahnya. Waduh!! Bagaimana itu bisa terjadi, bagaimana dengan hak-hak dasarnya untuk bisa tumbuh dan berkembang melalui asupan pengetuan yang sebenarnya hal demikian menjadi haknya yang harus ia terima dengan pantas? Hal ini patut kita renungkan bersama, agar jangan sampai kita sebagai orang tua ataupun sebagai guru kita terjebak pada tindakan melawan hukum, karena melakukan hal-hal yang sebenarnya mengabaikan masa depan anak-anak kita. Jika seorang siswa SMA, katakanlah ia melakukan kekerasan seperti perundungan, coba terapkan disiplin positif pada dirinya. Ini menjadi solusi cerdas sebagai manusia dewasa yang tetap peduli terhadap jaminan terpenuhinya aspek hak-hak dan perlindungan anak.
Hal tersebut mencuat pada diskusi Pembelajaran Proyek BELAJAR melalui pendekatan Sekolah Ramah Anak (SRA), yang merupakan hari kedua kegiatan PERTEMUAN NASIONAL DAN ASIA TERKAIT PERLINDUNGAN ANAK, BERBAGI PRAKTIK BAIK DAN PEMBELAJARAN, yang diselenggarakan oleh CHILDFUND INTERNASIONAL DI INDONESIA BERSAMA PEMANGKU KEPENTINGAN, Rabu, 15 Mei 2024, bertempat di Aula Komodo Hotel Harper Kupang,
Dihadapan dua narasumber, masing-masing Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang, Dumuliahi Djami, yang menyajikan materi : Perlindungan Anak Berbasis Sekolah (PABS) dan Zulfikar yang adalah Pegiat NGO yang concern terhadap pendidikan anak di Kota Semarang, dengan materinya : Sekolah Ramah Anak, Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTT, France Abednego Tiran, menanyakan jika seorang siswa kedapatan melakukan kekerasan atau perundungan di sekolahnya, pantaskah ia harus dikeluarkan?
Jawaban dari narasumber : Secara tegas katakan “TIDAK”, karena sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, maka anak itu harus dibina oleh TPPKS di sekolah tersebut, dan sangsi yang diberikan pun haruslah dalam bentuk penerapan disiplin positif atau konsekuensi logis, apapun kondisi anak sekalipun ia bersalah hak-haknya untuk mendapat pendidikan haruslah tetap terjamin.
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penerapan Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah minimnya kekerasan yang terjadi di sekolah tersebut. 3 Pilar SRA, yaitu : Orang tua, Guru dan Murid dengan tahapan Mau, Maju dan Mampu Menuju Sekolah Ramah Anak ( MESRA) Yang Bersih, Aman, Ramah, Inklusuf, Sehat, Aman dan Nyaman (BARISAN), sehingga terwujud ” Anak Senang, Guru Tenang, Orangtua Bahagia”. Stop Kekerasan terhadap anak! Salam Berlian– Bersama Lindungi Anak!