Perempuan dan Anak, Layakkah mendapat kekerasan?

“Kepolosan seorang Anak  dan keberadaan seorang Perempuan bukanlah peluang bagi siapapun untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka. Mari jadikan dunia tempat yang aman dan nyaman bagi kaum perempuan dan anak-anak, untuk bisa berekspresi dan menata hidup mereka menjadi lebih baik lagi. Stop kekerasan terhadap perempuan dan anak, hargailah marwah mereka sebagai manusia ciptaan Tuhan”

Perempuan dan anak merupakan kaum rentan, sudah seharusnya mendapat perlakuan yang layak dan pantas  sebagai manusia, karena memiliki marwah yang harus dihargai, dihormati dan dijunjung tinggi. Oleh sebab itu, perempuan dan anak tidak layak mendapatkan perlakuan yang diskriminasi dan harus terbebas dari perilaku berbagai bentuk kekerasan. Ini merupakan bagian dari penegakkan Hak Azasi Manusia, yang juga telah diatur oleh undang-undang.

Hal tersebut terungkap pada kegiatan Obrolan Akamsi Pro4 RRI Kupang, yang disiarkan melalui FM 104.30 MHz, yang dipandu oleh Deliyanti Babo, dengan menghadirkan narasumber, masing-masing Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ruth Diana Laiskodat, S. Si, Apt., M. M., Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) DP3AP2KB Provinsi NTT, France Abednego Tiran, dan Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DP3AP2KB Provinsi NTT, Dr. Nikolaus N. Kewuan, S. Kep., Ns., MPH. bertempat di Studio Pro 4 RRI Kupang, Jalan Cak Doko Kota Kupang, Selasa, 25 Juni 2024.

Dalam Obrolan Akamsi yang mengangkat topik : Perempuan dan Anak, Layakkah mendapat kekerasan, yang juga disiarkan secara langsung melalui FB Pro4 RRI Kupang, nampak ketiga narasumber antusias untuk menyampaikan ide bahkan berbagi pengalaman yang telah dilakukan oleh DP3AP2KB Probvinsi NTT, dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Pasal 1 ayat 15a dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disampaikan bahwa Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat pada timbulnnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan melawan hukum. Jika dikaitkan dengan topik ini, apakah Perempuan dan anak Layak mendapat kekerasan? Jawabannya dengan tegas tentu saja tidak. Mengapa? Karena Perempuan sebagai seorang manusia seorang individu tentu punya hak asasi dan semua manusia tidak layak mendapatkan kekerasan. Terlepas dari perannya sebagai seorang anak, seorang pekerja, seorang IRT ataupun seorang Ibu, Perempuan sebagai seorang individu harus dihormati dan diperlakukan dengan baik sehingga tidak layak mendapatkan kekerasan”, demikian yang diungkap oleh Ruth Laiskodat mengawali obrolan tersebut.

Menurut Mantan Kadis Kesehatan dan Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT, Ruth Diana Laiskodat bahwa dampak dari kekerasan terhadap hidup seseorang itu tidaklah kecil dan waktu yang pendek, tapi berdampak sepanjang kehidupan orang tersebut dan trauma yang dialami tentu saja akan mempengaruhi dirinya juga ketika Perempuan tersebut menjadi Ibu tentu generational trauma itu sedikit banyak akan berdampak pada caranya dalam menghadapi/merespon/mendidik suami dan anaknya dalam rumah tangga yang kemudian tentu berdampak pada anak-anak kita, generasi penerus bangsa.

Melengkapi pernyataan dari Kadis P3AP2Kb Provinsi NTT, Kepala Bidang PKA, France Abednego Tiran, menyampaikan bahwa anak-anak akan menjadi disiplin apabila diberi hukuman jika dipukul, dimana orang dewasa ataupun orang tua menganggap bahwa hal sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan sebagai bentuk mendisiplinkan anak merupakan anggapan yang keliru dan berbahaya.

“Berbagai bentuk kekerasan yang diterima oleh anak pasti akan membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, karena dapat berdampak negatif jangka panjang bagi anak, baik secara fisik, mental, maupun emosional, dimana anak dapat mengalami trauma psikis yang akan terbawa hingga dewasa dan dapat membuatnya berperilaku agresif. Banyak kali kita juga sengaja  memperlakukan anak secara diskriminatif, contoh perlakuan kekerasan terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus, karena kita belum bisa menerima keberadaan dari anak-anak tersebut, makanya masih terjadi kekerasan dalam pola asuh kepada anak-anak tersebut, padahal setiap anak harus terbebas dari berbagi bentuk diskriminasi apalagi kekerasan, tanpa memandang latar belakang, status maupun kondisi fisik anak”, urai France Tiran.

France Tiran menambahkan bahwa mendidik anak memang tidak mudah, dan orang tua sering kali merasa frustrasi ketika anak mereka tidak berperilaku seperti yang diharapkan. Namun, penting untuk diingat bahwa hukuman fisik bukanlah solusi. Dengan menggunakan cara-cara yang lebih positif dan efektif untuk mendisiplinkan anak, orang tua dapat membantu anak mereka tumbuh menjadi individu yang disiplin, bertanggung jawab, dan bahagia.

Deliyanti Babo sebagai moderator melanjutkan obrolan dengaan menanyakan kepada Kadis P3AP2KB Provinsi NTT : Dengn menanggapi kasus kekerasan pada anak yang masih marak terjadi hingga saat ini, apa langkah yang telah dan akan dilakukan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengatasi hal tersebut?

Kadis P3AP2KB Provinsi NTT menyampaikan bahwa terkait pencegahan kekerasan terhadap anak, maka  Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki bidang khusus yang menjalankan program-program untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak yaitu Bidang Perlindungan Khusus Anak, dimana bidang ini melaksanakan berbagai program untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak, seperti DP3AP2KB goes to school untuk yang tahun iini akan melanjutkan kegiatan tersebut dengan nama DP3AP2KB Provinsi NTT Goes to School and Campus, karena aksi pencegahan tidak saja menyasar anak-anak namun juga bagi kaum perempuan, dengan mendatangi lingkungan sekolah dan kampus untuk melakukan kegiatan sosialisasi dan edukasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Untuk penanganan kasus kekerasan pada anak, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), dimana setiap kasus yang terlapor akan dilakukan pendampingan hingga putusan oleh pengadilan”, jelas Rith Laiskodat.

Mantan Inspektur Provinsi NTT, Ruth Laiskodat juga menyampaikan bahwa anak-anak yang mendapatkan kekerasan seringkali tidak berani melapor. Hal tersebut disebabkan karena berbagai faktor seperti rasa takut, dimana mereka takut akan konsekuensi yang diterima jika mereka melapor. selain itu juga karena tertekan, dimana anak-anak ditekan oleh pelaku untuk tidak melapor dengan ancaman ataupun intimidasi.

“Kasus kekerasan terhadap anak diibaratkan seperti fenomena gunung es karena kasus yang sebenarnya jauh lebih tinggi dibandingkan kasus yang terlaporkan. Oleh karena itu, bagaimana cara tepat yang dapat dilakukan agar hal tersebut tidak terjadi?, maka Kadis P3AP2KB Provinsi NTT menyampaikan bahwa mencegah hal tersebut tidak terjadi maka dapat dilakukan dengan menumbuhkan keberanian untuk melapor.

Ruth Laiskodat menyampaikan bahwa untuk melapor bisa dilakukan dengan cara yaitu bangun Kepercayaan dengan menciptkan lingkungan yang aman dan suportif bagi anak-anak untuk berani melapor. Orang tua, guru, dan orang dewasa di sekitar anak harus menjadi figur yang mudah dijangkau dan dipercaya. Edukasi tentang kekerasan harus terus dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada anak tentang berbagai bentuk kekerasan, hak-hak mereka, dan cara mencari bantuan, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan sesuai dengan usia anak. Sediakan Saluran Pelaporan yang mudah dijangkau.

“Buatlah berbagai saluran pelaporan yang mudah diakses anak. Pastikan proses pelaporan aman, terjamin kerahasiaannya, dan bebas dari stigma” pinta Ruth Laiskodat.

Bagaimana dengan Perempuan? Deliyanti Babo, melanjutkan obrolan dengan mengajukan pertanyaan kepada Kadis P3AP2KB Provinsi NTT, Masih banyak orang yang beranggapan bahwa kekerasan terhadap Perempuan itu wajar, apalagi dalam lingkup rumah tangga ketika yang berkonflik adalah suami dan istri. Bagaimana tanggapannya?

Kadis P3AP2KB Provinsi NTT, Ruth Laiskodat menjawab bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang memprihatinkan karena seharusnya dalam rumah tangga itu saling menyayangi dan melindungi. Ketika pasangan berkonflik dan terjadi KDRT yang menjadi korban bukan saja hanya Perempuan, tetapi anak itu sudah pasti ikut menanggung beban dan terdampak.

“Menurut data bahwa kekerasan terhadap Perempuan maupun anak paling banyak terjadi dalam lingkup Rumah Tangga dan Pelakunya kebanyakan adalah orangtua, maupun Pasangan (suami/partner yg belum menikah sah tetapi tinggal bersama). Anak-anak ini juga turut menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh ayah kepada Ibunya, apalagi ketika Ibunya sudah jadi korban kekerasan fisik, diancam ditelantarkan pula. Hingga terjadi perceraian juga perebutan hak asuh yg tentu saja akan berdampak psikis bagi anak kedepannya”, ungkap Ruth Laiskodat.

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DP3AP2KB Provinsi NTT,  Dr. Nikolaus N. Kewuan, S. Kep., Ns., MPH, yang hadir mendampingi Kadis P3AP2KB Provinsi NTT, menambahkan bahwa perjuangan perempuan untuk keluar dari lingkaran kekerasan itu tidak mudah, apalagi jika Perempuan itu tidak berdaya. Dalam kasus sering ditemukan yang menjadi korban itu kebanyakan yang tidak independent secara finansial dan juga tidak independent secara emosional.

“Ketika sudah ada indikasi kekerasan, perempuan ini tidak bisa serta merta meninggalkan pelaku karena memiliki ketergantungan. Contoh paling banyak istri menjadi korban kekerasan oleh suami tapi tidak mau menyelematkan diri dengan alasan khawatir akan kelangsungan hidup anak/dirinya karena tidak memiliki penghasilan karena selama ini hidupnya bergantung pada pasangan. Oleh karena itu kita juga selalu mendorong agar Perempuan-perempuan untuk dapat berdaya, dengan melakukan strategi untuk menekan kekerasan terhadap Perempuan, yaitu dengan :

1. Meningkatkan sosialisasi terkait pencegahan kekerasan terhadap Perempuan

2. Pemberdayaan Perempuan dan pemberdayaan Perempuan korban kekerasan (pasca menjadi korban agar korban bisa berdaya dan bisa terputus/keluar dari lingkungan/situasi yang menjadikannya korban)

3. Peningkatan pemahaman Masyarakat tentang kekerasan terhadap Perempuan, karena masih banyak yang belum menyadari apa yang mereka lakukan termasuk dalam bentuk kekerasan. Adapun upaya meningkatkan pemahaman ini dilaksanakan melalui sosialisasi-sosialisasi tentang peraturan-peraturan terkait perlindungan Perempuan. Misalnya UU Penghapusan KDRT dan juga UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Alangkah baiknya jika Masyarakat dapat memahami jenis-jenis kekerasan, dan ancaman hukumannya agar orang berpikir dua kali untuk melakukan hal tersebut. Kami juga mendorong APH untuk dapat mulai menerapkan hukuman pada pelaku  dan juga mendorong pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain melauli sosialisasi tatap muka juga melalui KIE yang disebarkan melalui media sosial maupun offline.

4. Kerjasama lintas sektor untuk memastikan akses dan perlindungan terhadap Perempuan dalam situasi tertentu untuk mencegah terjadinya kekerasan juga memastikan tersedianya layanan penanganan terhadap Perempuan korban kekerasan

5. Meningkatkan kualitas layanan penanganan korban kekerasan melalui UPTD PPA Provinsi NTT, juga mendorong kab/kota untuk membentuk UPTD PPA untuk dapat memberikan layanan lebih baik, sekaligus menjawab Amanah UU no 12 tahun 2022 tentang TPKS yang mengamanatkan peran UPTD PPA tidak hanya dalam penanganan korban kekerasan melainkan dari pencegahan, pelayanan dan penanganan.

Selain itu kami juga membuka layanan pengaduan untuk korban kekerasan baik Perempuan maupun anak melalui SAPA 129 atau WA ke 0811 1129 129.”, jelas Niko Kewuan, yang baru saja meraih gelar doktor Bidang Administrasi FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang.

Mengakhiri Obrolan Akamsi Pro4 RRI Kupang yang berlangsung dari pukul 09.00 s.d. 10.00 Wita tersebut, ketiga narasumber berkomitmen untuk terus melakukan upaya pencegahan secara masif dalam semangat kolaborasi pentahelix, agar bisa memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak, karena Perempuan Berdaya, Anak Terlindungi, Keluarga Berkualitas, NTT Sejahtera, Indonesia Maju. Dengan demikian perempuan dan anak tidak pantas untuk mendapat dan diskriminasi dan kekerasan, karena perempuan dan anak adalah aset bangsa untuk memajukan bangsa, negara dan Nusa Tenggara Timur. 

Salam BERLIAN- Bersama Lindungi Anak

#kemenpppaRI
#deputiperlindungankhususanak
#deputiperlindungiperempuan
#dp3ap2kbprovinsintt
#pro4RRIkupang
#bidangperlindungankhususanak
#bidangperlindunganperempuan
#perempuanterlindungi
#anakjugapunyahak
#anakterlindungi
#menujuindonesiaemas
#MC_F@T

Bagikan kepada..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *