Kita Adalah Gambar Allah (Imago Dei), Sudah Sepantasnya Kita Harus Saling Menghormati, Tanpa Melihat Keberadaan Kondisi Fisik Sesama yang merupakan Ciptaan Allah. Itulah Panggilan Kita Sebagai Gereja.
Sesuai iman Kristiani, setiap manusia diciptakan menurut Gambar dan Rupa Allah, yang mengajarkan kita bahwa setiap individu memiliki martabat dan nilai – nilai sifat keilahian yang melekat, tanpa melihat kondisi fisik, latar belakang, atau status sosial mereka. Gereja, sebagai tubuh Kristus di bumi, dipanggil untuk mencerminkan prinsip inklusi ini, Gereja bukan hanya sebagai tempat ibadah tetapi sebagai komunitas hidup yang mengamalkan kasih dan penghormatan kepada semua orang. Dalam setiap aspek kehidupan gerejawi, kita diundang untuk membuka tangan dan hati kepada semua orang, meneladani kasih Yesus yang melampaui batasan manusiawi dengan merangkul setiap individu sebagai bagian dari keluarga Allah.
Untuk mewujudkan spirit inklusi, Gereja harus menciptakan lingkungan yang menyambut setiap orang tanpa memandang perbedaan. Ini termasuk merancang program yang mendukung kebutuhan khusus, memastikan aksesibilitas layanan, dan mendengar suara setiap individu, terutama mereka yang terpinggirkan. Gereja juga perlu berkomitmen pada pendidikan dan pelatihan tentang inklusi dan keberagaman. Dengan cara ini, Gereja tidak hanya menerima tetapi merayakan perbedaan, menjadikannya kekuatan dalam komunitas kita, serta menunjukkan kepada dunia contoh hidup dari kerajaan Allah yang penuh kasih dan inklusi.
Demikian sambutan Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang diwakili oleh Pdt. Lay Abdi Karya Wenyi, M.Si selaku Sekretaris Majelis Sinode (GMIT) dalam Workshop Pendampingan dan Pengajaran Kristen bagi warga jemaat GMIT yang Berkebutuhan Khusus se-Klasis Kota Kupang, sekaligus membuka secara resmi kegiatan tersebut yang berlangsung di Gedung Serbaguna Gereja Paulus Jl. Jend. Soeharto No.71, Oepura, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sabtu, 27 Juli 2024.
Dalam rangka merayakan Bulan Pendidikan Geereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Tahun 2024 di bawah tema “GMIT Berkhikmat”, maka Badan Hari Raya Gerejawi (BHRG) Jemaat GMIT Paulus Kupang, terpanggil untuk memberi perhatian untuk salah satu aspek dalam jemaat yang hampir terlupakan dan bahkan tidak pernah tersentuh dengan pelayanan gereja sampai hari ini adalah anggota jemaat yang berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan orang lain berdasarkan kesamaan hak.
“Bulan pendidikan menjadi moment perayaan iman dengan perbuatan-perbuatan nyata sebagai wujud iman. Namun, hambatan interaksi sering membuat penyandang disabilitas terpinggirkan dan mengalami diskriminasi dalam pelayanan gereja. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesenjangan ini, kami melibatkan penyandang disabilitas dalam pelayanan liturgi dan kami juga berupaya untuk mengedukasi jemaat dan para pegiat pelayanan dalam gereja maupun masyarakat pada umumnya untuk mempunyai pemahaman yang sama bahkan memiliki pengetahuan yang memadai terkait intervensi pelayanan dan pendampingan bagi jemaat yang berkebutuhan khusus.”
Demikian seperti yang dijelaskan oleh Adriana Buna Kalla selaku Ketua BHRG GMIT Paulus Kupang, saat menyampaikan laporan kegiatan Workshop yang melibatkan Pemerintah, Instansi Pendidikan, Orang tua Anak Berkebutuhan Khusus, Penyandang Disabilitas, dan Tokoh Agama sebagai narasumber. Ia juga berharap dengan mendengar dari sudut pandang narasumber yang bervariasi, diharapkan dapat membantu mempererat tali persaudaraan diantara warga seiman dalam semangat pelayanan di dalam gereja maupun masyarakat. Aki Kalla, biasa disapa, yang juga adalah Pendiri Yayasan Karya Musik Siloam, menyampaikan bahwa semangat pelayanan yang tulus dan berbasis pada saling memhami akan memperkuat ikatan di dalam gereja dan masyarakat, dengan komitmen untuk terus berkolaborasi dan berinovasi dalam pelayanan, maka diharapkan semua anggota jemaat juga dapat merasakan keberadaan kaum disabilitas yang penuh, dalam komunitas iman dan memperoleh dukungan yang adil serta setara.
“Gereja harus berusaha keras untuk kaum difabel juga mengakses keadilan pada berbagai hal : pekerjaan, pendidikan, aksesibilitas dan khusus dalam pelayanan/pemenuhan kebutuhan rohani. Kita semua adalah ciptaan Tuhan. Gambar dan Rupa Allah yang setara dan tak boleh pisahkan karena alasan apapun untuk akses pada pelayanan gereja, dan selalu berusaha dalam pemberdayaan kaum difabel dan mendampingi/pastoral bagi kaum difabel menuju pribadi yang mandiri, aktif juga terlibat dalam pelayanan”, ujar Dr. David Natun, selaku Anggota Majelis Klasis Kota Kupang Bidang Pendidikan, dalam sambutannya mewakili Ketua Majelis Klasis Kota Kupang.”
Dalam workshop tersebut yang juga dihadiri oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTT, Ruth Diana Laiskodat, S. Si., Apt., M. M, Mantan Ketua Pengurus Pemuda GMIT, David Natun, juga berpesan untuk jangan berhenti hanya pada tahap perencanaan dan diskusi, wujudkanlah peran gereja dengan mengambil langkah-langkah konkret.
Implementasikan program-program yang mendukung aksesibilitas dan pemberdayaan kaum difabel. Buatlah kebijakan yang memastikan mereka mendapatkan kesempatan yang sama dalam setiap aspek kehidupan gereja, mulai dari pelayanan liturgi hingga kegiatan sosial. Selalu evaluasi dan perbaiki prakarsa yang telah dijalankan untuk memastikan bahwa setiap anggota, tanpa kecuali, merasa diterima dan dihargai dalam komunitas iman kita. Dengan komitmen dan tindakan yang berkelanjutan, gereja dapat benar-benar mewujudkan inklusi dan keadilan yang kita cita-citakan”, tambah David yang adalah Doktor Jebolan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang.
Acara workshop dalam bentuk talkshow ini yang dibagi menjadi 3 (tiga) sesi, yaitu sesi 1 (satu) dan sesi 2 (dua) melihat dari 8 (delapan) sudut pandang narasumber dari berbagai pihak dan sesi 3 (tiga) berdiskusi bersama peserta yang hadir dalam kegiatan workshop.
Talkshow sesi pertama dipandu oleh Ekoningsih Lema, S. Pd, M. Si, dengan menghadirkan narasumber Prof. Ir. Sri Widiyantoro M.Sc., Ph.D selaku Rektor Universitas Kristen Maranatha Bandung, Maya Yulasti Monas, S.KM., M.Kes, selaku orang tua anak Penyandang Disabilitas, Serafina Bete, selaku Ketua Perkumpulan Tuna Daksa Kristiani (PERSANI) Provinsi NTT, Kristin Rahmani, M.Si., Psikolog, selaku dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.
Sedangkan talkshow sesi kedua menghadirkan narasumber Pdt. Dr. Hariman A. Pattianakotta, M.Th selaku Pendeta Universitas Kristen Maranatha Bandung, Pdt. Melky Joni Ulu, M. Th, selaku Pendeta di Sinode GMIT, Veramyta M.M Flora Babang, S.Pd.Jas., M.Or, selaku Dosen Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Unoversitas Nusa Cendana, dan Anita Yacoba Gah, SE, selaku Anggota DPR RI. Yang dimoderatori oleh Ina Djara.
Diskusi mendalam ini mengeksplorasi pengalaman pribadi, tantangan sosial, dan harapan dalam mendukung kaum difabel. Pembicara membahas pentingnya pendidikan inklusif, tantangan sehari-hari dalam mendapatkan layanan yang memadai, kebutuhan akan aksesibilitas yang lebih baik, serta dukungan psikologis yang holistik. Tujuannya adalah untuk mendorong pemahaman yang lebih dalam dan tindakan konkret guna menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi kaum difabel.
Menurut Serafina Bete, menjadi seorang difabel sering kali menghadapi diskriminasi dan kesenjangan sosial yang signifikan, yang dapat berdampak besar pada kesejahteraan psikologis. Dukungan yang serius dan konsisten dari keluarga, terutama orang tua, sangat penting untuk membantu membangun karakter dan fondasi yang kuat dalam diri sebagai individu yang spesial di tengah masyarakat. Dengan bimbingan dan dorongan yang tepat, kelompok difabel dapat mengembangkan kemandirian, kekuatan, dan rasa percaya diri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan hidup.
Dengan dukungan yang memadai dari keluarga, terutama orang tua kami pasti dapat mengatasi stigma dan keterbatasan yang ada, serta akan merasa diterima dan dihargai di tengah-tengah masyarakat. Karena kami berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan, dari pendidikan hingga pekerjaan, serta pelayanan yang layak dimanapun kami berada seperti di gereja, rumah sakit, dan sekolah-sekolah. Hal sederhana yang perlu diciptakan di lingkungan tersebut ialah akses dan fasilitias yang ramah terhadap kelompok kami, saya rasa itu sudah sangat menghargai keberadaan kami di tengah masyarakat”, ungkap Serafina Bete, Ketua PERSANI Provinsi NTT, yang mengalami kelumpuhan permanen sejak berusia 6 (enam) bulan karena terserang virus Polio.
Ia juga berharap adanya perubahan positif dalam sikap sosial, kebijakan inklusif, dan peningkatan kesadaran masyarakat, bagi kaum difabel agar dapat merasakan keadilan dan integrasi yang sebenarnya, serta dapat menjalani kehidupan yang penuh dan memuaskan, tanpa rasa terpinggirkan.
Sejalan dengan pandangan Serafina Bete, Maya Yulasti Monas sebagai orang tua dari anak berkebutuhan khusus percaya bahwa dukungan, perhatian, dan penerimaan dari lingkungan sekitar, terutama keluarga, merupakan elemen yang paling penting dalam mendukung kelompok disabilitas.
Lingkungan yang penuh empati dan pengertian dapat memberikan dampak positif yang signifikan pada perkembangan dan kesejahteraan anak. Dukungan dari keluarga tidak hanya mencakup kebutuhan praktis seperti akses ke layanan medis dan pendidikan, tetapi juga melibatkan dukungan emosional yang mendalam dan penerimaan tanpa syarat. Lingkungan keluarga yang mendukung menciptakan fondasi yang kuat bagi anak untuk berkembang secara optimal dan merasa dihargai, yang pada gilirannya memperkuat kemampuan mereka untuk beradaptasi ditengah masyarakat”, ungkap Maya. Ia juga berpesan kepada orang tua yang memiliki Anak Berkebutuhan Khusus agar jangan merasa malu atau tertekan dengan pemberian Tuhan ditengah-tengah mereka.
Setiap langkah dalam perjalanan ini penuh dengan tantangan dan keajaiban. Dukungan dan kasih sayang yang diberikan adalah kunci untuk membantu anak berkembang dan merasa dihargai. Teruslah menjaga harapan, mencari dukungan, dan merayakan setiap pencapaian sekecil apapun itu. Dengan perhatian dan penerimaan yang konsisten, masa depan anak akan menjadi cerah dan penuh peluang”, tambah Maya Monas, yang pernah mendapat Anugerah terindah dari Tuhan melalui anaknya yang menderita Autism Spectrum Disorder (ASD), atau gangguan perkembangan saraf yang memengaruhi cara seseorang berinteraksi, berkomunikasi, dan berperilaku. Ia mengatakan juga bahwa dengan adanya perhatian dan dukungan yang konsisten dari keluarga serta komunitas, diharapkan anak-anak berkebutuhan khusus dapat meraih potensi mereka dan menjalani kehidupan yang penuh makna dengan rasa percaya diri dan diterima.
Perlu adanya pendekatan yang holistik dan empatik, menjadi sangat penting dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh orang tua dan kelompok disabilitas. Ini mencakup dukungan praktis dalam bentuk aksesibilitas dan layanan yang memadai, tetapi juga perhatian mendalam terhadap aspek mental dan emosional yang mereka alami. Dukungan yang berkelanjutan harus melibatkan layanan psikologis yang sensitif, pendampingan emosional yang konsisten, serta penciptaan lingkungan sosial yang mendukung dan inklusif”, jelas Kristin Rahmani saat menyampaikan pendapat dan pandangannya menyangkut kelompok disabilitas.
Dengan memperhatikan seluruh dimensi kehidupan mereka dari kebutuhan fisik hingga kesejahteraan emosional kita dapat membantu orang tua dan kelompok disabilitas merasa lebih terhubung, didukung, dan diberdayakan untuk menghadapi tantangan sehari-hari mereka dengan lebih baik. Pendekatan ini juga melibatkan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat untuk meningkatkan empati dan pemahaman, sehingga menciptakan jaringan dukungan yang kuat dan komprehensif. Harapan ke depan adalah untuk memerangi stigma dan kesenjangan sosial melalui kebijakan membangun lingkungan inklusif, dan peningkatan kesadaran masyarakat, sehingga kaum disabilitas dapat merasakan keadilan dan kesempatan yang setara di semua aspek kehidupan.
Sesi kedua menyoroti peran dan tanggung jawab berbagai sektor dalam mendukung kaum difabel. Pdt. Dr. Hariman A. Pattianakotta, M.Th., mengungkapkan peran gereja dalam mendukung dan menyertakan penyandang disabilitas dalam kegiatan gereja.
Dalam rangka mewujudkan lingkungan inklusi, Gereja tidak hanya menanggapi kebutuhan penyandang disabilitas tetapi juga merayakan keunikan dan kekuatan yang mereka bawa ke dalam komunitas. Melalui komitmen terhadap aksesibilitas, partisipasi, dan edukasi, Gereja menunjukkan bahwa setiap orang memiliki tempat dan nilai dalam tubuh Kristus. Ini menciptakan sebuah komunitas yang benar-benar mencerminkan cinta dan kasih Allah, yang membuka pintu untuk semua orang dan merangkul setiap individu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gereja”, tutur Pdt. Dr. Hariman A. Pattianakotta.
Dengan melibatkan setiap anggota dalam proses pengambilan keputusan dan merayakan keberagaman, gereja dapat menciptakan budaya yang tidak hanya menerima tetapi juga merayakan perbedaan. Melalui pendekatan ini, gereja menunjukkan kepada dunia contoh nyata dari kasih Kristus yang melampaui batasan, mengubah komunitas menjadi tempat yang menyambut dan mendukung semua individu dengan sepenuh hati”, tambah Pdt. Melky Joni Ulu senada dengan pandangan Pdt. Hariman Pattianakotta, bahwa gereja harus ramah kepada semua kalangan, karena gereja adalah komunitas murid Yesus yang harus terbuka dan menerima semua kalangan tanpa membeda-bedakan.
Dengan komitmen terhadap perubahan kebijakan, peningkatan kesadaran masyarakat, dan implementasi solusi praktis, diharapkan kita dapat mengatasi kesenjangan yang ada dan memberikan dukungan yang lebih baik, memungkinkan kaum difabel untuk berpartisipasi sepenuhnya dan merasa dihargai dalam semua aspek kehidupan.
Menekankan pentingnya penerapan pendidikan jasmani yang inklusif sebagai langkah krusial untuk memastikan aksesibilitas bagi semua individu, termasuk penyandang disabilitas. Veramyta M.M. Flora Babang, S.Pd.Jas., M.Or, dalam pandangannya menyampaikan bahwa pendidikan yang inklusif bukan hanya tentang menyediakan fasilitas dan peralatan yang memadai, tetapi juga melibatkan penyesuaian metode pengajaran dan pendekatan yang menghargai dan memfasilitasi kebutuhan spesifik setiap peserta. Ini mencakup pelatihan bagi pendidik untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan fisik dan sosial, serta menciptakan lingkungan belajar yang mendukung keterlibatan aktif dan partisipasi penuh dari semua siswa. Dengan pendekatan ini, pendidikan jasmani tidak hanya memberikan manfaat fisik tetapi juga berkontribusi pada pengembangan sosial dan emosional, mengurangi stigma, dan mempromosikan kesetaraan di dalam lingkungan sekolah.” Jelas Veramyta M.M. Flora Babang.
Selain dari sisi pendidikan, pembahasan tentang dukungan dan inklusi bagi penyandang disabilitas dapat dilihat dari perspektif pelayanan sosial dan kebijakan publik, yang juga sejalan dengan ajaran Kristiani tentang kasih dan keadilan. Menyoroti peran penting kebijakan dan undang-undang dalam melindungi dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas.
Anita Yacoba Gah, Anggota Komisi X DPR RI, berargumen bahwa kebijakan yang inklusif adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara. Pemerintah dan gereja harus benar-benar berkomitmen secara bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Dalam konteks ini, kebijakan harus mencakup berbagai aspek, mulai dari memastikan aksesibilitas fisik, hingga perlindungan hak-hak pendidikan dan pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
Pemerintah memainkan peran krusial dalam merancang dan menerapkan kebijakan yang menjamin aksesibilitas fisik, serta melindungi hak-hak pendidikan dan pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
Sementara itu, gereja memiliki tanggung jawab untuk mendukung inisiatif ini dengan menyediakan dukungan sosial dan emosional, serta membangun budaya inklusi di tingkat komunitas. Kolaborasi ini penting karena tidak hanya memenuhi kebutuhan praktis, tetapi juga membentuk sikap masyarakat yang lebih empatik dan menghargai keberagaman. Dengan sinergi antara kebijakan publik dan inisiatif komunitas, kita dapat memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari keterbatasan fisik, dapat berkontribusi dan merasa diterima dalam masyarakat”. tegas Anita kepada seluruh peserta yang hadir secara langsung di Gedung serbaguna Gereja Paulus Kupang maupun melalui live youtube J&D Production EO.
Dengan mengintegrasikan perspektif pendidikan yang inklusif dan kebijakan yang mendukung, kedua sesi talkshow ini memberikan pandangan komprehensif tentang bagaimana kita dapat secara efektif meningkatkan kualitas hidup dan dukungan bagi penyandang disabilitas. Lebih dari itu, argumen Kristiani yang mendasari solusi-solusi ini menekankan tanggung jawab kita sebagai umat Tuhan untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil, sesuai dengan ajaran kasih dan keadilan yang diajarkan Yesus Kristus.
Turut hadir pada kegiatan workshop tersebut para undangan maupun peserta diantaranya Ketua Yayasan Pendidikan Kristen Maranatha Bandung, Orias Petrus Moedak, Kepala Dinas Pemberdayaan Pendidikan dan Perempuan Provinsi diwakili oleh Kepala UPTD Museum Daerah, Maxi Asamani, Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) pada DP3AP2KB Provinsi NTT, France A. Tiran, Pdt. Mielsy E. Y. Thelik-Mooy, S.Th. selaku Sekretaris Bidang Persekutuan Anak, Remaja dan Taruna (PART), Lansia dan Kaum Perempuan Unit Pembantu Pelayanan (UPP) MS GMIT, dan sejumlah Pendeta GMIT dalam wilayah pelayanan Klasis Kota Kupang, Perwakilan Kelompok Difabel se Kota Kupang, dan Perwakilan Jemaat se Klasis Kota Kupang.
Acara workshop tersebut bersifat entertain dengan menampilkan talenta berupa lagu, tarian dan fashion show dari anak-anak Rumah Musik Siloam Kota Kupang.
“Salam BERLIAN – Bersama Lindungi Anak”
#kemenpppari
#deputibidangperlindungankhususanak
#deputipemenuhanhakanak
#dp3ap2kbprovinsintt
#dinaspdankprovinsintt
#anakberkebutuhankhusus
#sinodegmit
#jemaatpauluskotakupang
#universitasmaranathabandung
#persanintt
#marilindungianak
#menujuindonesiaemas
#MC_F@T